Browsed by
Tag: Media

Menyimak Pos Ronda dan konsep satir di Indonesia.

Menyimak Pos Ronda dan konsep satir di Indonesia.

Ketika pintasan halaman Pos Ronda muncul di linimasa, saya tidak pernah menganggapnya serius. Apakah memang benar ada yang mengkonsumsi berita seperti itu? Rupanya banyak yang salah langkah dan menanggapinya dengan serius. Apakah konsep satir begitu susah diterima di Indonesia?

radioholicz-posronda2

Ketika kebijakan mengenai himbauan berhemat untuk pegawai negeri sipil yang dikeluarkan oleh Menpan, semua orang terhenyak. Berita ini makin simpang siur ketika banyak orang yang membagikan tautan berita dengan judul ” Hemat Air, MenPAN-RB Diminta Hanya Perbolehkan PNS Mandi Seminggu Sekali” (tayang 5 Desember 2014)[1], ramailah seluruh jagad facebook dengan beraneka rupa komentar.

Read More Read More

Coca Cola dan Musik : seperti inspirasi yang tidak pernah berhenti.

Coca Cola dan Musik : seperti inspirasi yang tidak pernah berhenti.

Rasanya kejadian itu masih seperti kemarin. Masih tersisa di pelupuk mata. Kecelakaan beruntun yang membuat tulang selangka saya patah dan menyebabkan tangan kiri mati rasa selama 3 bulan. Harus dibebat dan digendong kemana-mana. Rasanya masih kemarin, ketika semua harapan saya pikir telah hilang. Dengan harus bedrest selama 3 bulan lebih, akhirnya saya memutuskan resign dari kerja. Akan jadi apa hari-hari selanjutnya?

Dokumen Pribadi

Hari-hari panjang yang harus dilalui bersama lusinan obat yang masuk ke tubuh, serta ngilu yang datang pada tulang ketika salah bergerak membuat saya putus harapan. Sepertinya semua jalan keluar telah tertutup dan semuanya harus diawali dari awal lagi. Mungkin saya tidak akan pernah bisa bertahan, tanpa musik. Yang setiap saat menemaniku, memberi semangat dan memberi harapan.

Saya selalu terenyuh ketika mendengarkan Guy Sebastian menceritakan tentang Taller, Better, Stronger, atau mendapatkan harapan ketika Kelly Rowland menyanyikan You Will Win. Mendengarkan Mariah Carey yang menguatkan pada track Through The Rain, terutama ketika mendengarkan lagu D’ Masiv dengan Jangan Menyerah. Itulah lagu-lagu yang menemani pagi, siang, dan malam. Pada saat itulah semua emosi saya tertumpah. Ketika rasanya hidup menjadi sesuatu yang tidak berarti, saya perlahan bisa menguatkan diri.

Image by http://creativedisc.com

Saya beruntung bisa memaknai seluruh perjalanan hidup ini dengan musik. Saya termasuk orang-orang yang memiliki kadar kecanduan parah. Besar dalam era generasi MTV membuat saya cenderung mendengarkan musik mainstream. 2 tahun terakhirlah ketika saya akhirnya bisa menikmati suara Harry Connick Jr, Michael Bubble dan Melody Gardot. Musik juga lah yang membuat saya memberanikan diri untuk menjadi penyiar radio. Dari radio liar, radio anak muda, sampai dengan radio bersegmen dewasa sudah pernah saya rasakan.

Ketika orang-orang berbicara tentang Andy Williams, Patty Smith, sampai Justin Bieber saya bisa melahapnya dengan mudah. Karena itulah prinsip saya. Selalu ingin mendengarkan lagu baru untuk dijadikan soundtrack kehidupan. Supaya di keesokan hari ketika saya mendengar lagu tersebut terputar, saya bisa mengingatnya dari bagian kehidupan yang mana serta kenangan yang menyertainya.

Perasaan seperti itulah yang selalu datang ketika menyesap Coca-Cola. Pelan, pasti, dan juga selalu bisa menenangkan. Pernah mengalami sebuah hari yang sangat panas, dimana semua hal berjalan diluar rencana? Saya pernah, dan berulang kali. Inilah resiko bekerja di industri kreatif dimana adrenalin selalu dipacu. Ketika hal itu terjadi, maka suara Amy Winehouse yang menyanyikan You Know I’m No Good serta sekaleng Coca Cola dingin sudah pasti bisa membuatku cooling down kembali.

Coca Cola selalu memiliki inovasi yang tidak biasa. Itu yang selalu saya pelajari. Ketika semua musik di radio dan televisi dihantam oleh pop melayu di pertengahan tahun 2009, Ello, Ipank, Berry, dan Lala menawarkan “Buka Semangat Baru”. Sebuah tindakan yang tidak wajar. Bisakah pesan yang ingin dititipkan sampai kepada audiens? Tapi sesuatu yang berbeda dan positif pastilah akan selalu mendapat jalan. Entah sudah berapa banyak teman di jejaring sosial yang sudah menuliskan tentang semangat baru ini. Semua orang sudah tertular virus itu, termasuk saya.

Image by http://media-ide.bajingloncat.com

Ini bukan tentang sebuah branding, bukan tentang sebuah pencitraan yang dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat. Tetapi tentang sebuah kesadaran bagaimana menginspirasi orang dan melakukan hal positif didalam hidupnya. Coca Cola tahu itu. Bahkan Hermawan Kertajaya dalam buku Marketing In Venus menegaskan bahwa ketika sebuah brand telah berhasil masuk didalam keseharian seseorang, maka tunggu saja sampai mereka akan menjadi orang-orang yang setia.

Seperti itulah musik bagi saya. Selalu membawa inspirasi dan semangat yang baru. Ketika Time Is Running Out pernah menjadi soundtrack saya ketika menyelesaikan skripsi, Just The Way You Are milik Bruno Mars yang menyertai saya jatuh cinta, pun ketika Won’t Go Home Without You dari Maroon 5 menjadi soundtrack saya ketika bertengkar bersama pasangan. Semuanya memiliki inspirasi dan ceritanya masing-masing.

Seperti cerita yang tidak pernah selesai, seperti itulah Coca Cola dan musik menemani perjalanan saya setiap hari. Selalu ada inspirasi baru, selalau ada harapan baru ketika menikmatinya. Karena bagaimanapun dunia adalah sebuah taman main yang besar dan kita membutuhkan musik untuk memaknainya.

Kisah tentang Indah Dewi Pertiwi dan Penghargaan Platinum

Kisah tentang Indah Dewi Pertiwi dan Penghargaan Platinum

“Album perdananya berjudul Hipnotis berhasil meraih penghargaan platinum.”

Mengapa hal ini menjadi menarik? Saya teringat dengan beberapa bulan yang lalu ketika berita ini tidak sengaja di retweet oleh seorang music director sebuah radio di Surabaya. Dia hanya berkomentar,

“Wajar saja kalau dapat platinum, wong semuanya dibeli oleh KFC”

Lantas, apakah memang trik ini memang salah? Mengingat lesunya pasar yang menjual album fisik baik berupa kaset maupun CD. Saat ini sudah semakin sedikit orang-orang yang mengunjungi toko CD untuk membeli album favoritnya. Bahkan Aquarius yang terkenal pun, menutup beberapa retailnya di beberapa kota. Termasuk juga perusahaan M-Studio yang dulunya bermain di sektor yang sama.

Selepas dari dunia radio, saat ini tidak pernah lagi saya mendengar berita mengenai album Artis Indonesia yang meraih platinum. Syarat seorang artis meraih platinum sendiri, apabila dia mampu menjual sebanyak 75 ribu kopi. Apakah saat ini angka tersebut masih menjadi angka yang sanggup dicapai? Beberapa tahun yang lalu mungkin saja jumlah minimal ini masih mudah diperoleh. Bahkan album Bintang di Surga milik kelompok Peterpan mendapat julukan multi platinum album.

Agak miris sebenarnya ketika berbicara tentang industri musik di Indonesia. Tentu saja hal ini tidak lepas dari masalah pembajakan dimana-mana. Mulai dari lapak yang bertebaran dari pasar kaki lima hingga emperan mall besar, sampai pada semakin banyak situs di internet yang menyediakan musik gratis. Cukup dengan 3 langkah mudah, kita sudah bisa menikmati album baru dari seorang penyanyi. Cukup dengan browsing, saving, dan voila! Semudah itu.

Nah, apakah semua artis harus masuk di Music Factory KFC sehingga bisa meraih platinum?

Tidak, saya tidak bersikap sinis. Cuma miris dan kagum disaat yang bersamaan. Bagaimana konsep marketing yang diterapkan bisa diibaratkan sekali dayung banyak pulau bisa terlampaui. Karena penjualan produknya dapat, albumnya juga lancer jaya. Walaupun belum tentu sasaran album tersebut mengenai pasar yang pas. Saya masih ingat ekpresi seorang Bapak yang memegang dan melihat sampul album IDP. Ini mau diapain? “Dilempar saja pak!” Karena kalau tidak bisa mengelak, maka jebakan Beli CD dapat gratisan ini itu ini itu dan lain sebagainya bisa didapatkan. Memangnya mau nongkrong di KFC tiap hari?

Terlepas dari konsep marketing yang cerdas, rasanya konsep beli-ayam-gratis-CD ini menjadi suatu hal yang menarik di industri musik Indonesia. Survival for the fittest. Siapa yang bisa masuk ke dalam pasar, akan bisa bertahan. Pertanyaannya kemudian, sah kah platinum yang didapatkan oleh IDP dan (mungkin) Agnes Monica?

Jokes yang tidak pada tempatnya

Jokes yang tidak pada tempatnya

Ketika melihat status beberapa teman Facebook dan twit mereka, saya sering berpikir, isi kepala mereka apa yah? Kok bisa-bisanya mereka berkomentar untuk sesuatu yang sensitif seperti itu?

Karikatur di Lintas Berita Malaysia. Sumber : MetroNews

Ini kita berbicara tentang apa memangnya? Tentang gempa yang melanda Jepang. Tentang tsunami yang menewaskan banyak orang. Tentang katanya reactor nuklir yang mengalami ledakan. Dan juga bagaimana sikap dan prilaku Jepang pasca bencana. Mereka setidaknya lebih baik dari kita, bangsa Indonesia, yang bahkan berpikir pun terkadang bisa seenaknya saja.

Beberapa twit dan status yang bermasalah itu adalah,

“Astaga, Jepang gempa! Bagaimana kabar Miyabi yah?”
“Coba kalau pintu kemana sajanya Doraemon bisa dipakai, pasti semuanya selamat”
“Kalau gempa lagi, bagaimana nasib Sinchan selanjutnya?”

Jeez, ada apa dengan isi kepala kalian hey orang-orang! Setidaknya kalau memang tidak bisa bersimpati atau melakukan sesuatu, setidaknya janganlah mengatakan sesuatu yang bodoh. Apalagi kalau hal itu bisa mengundang reaksi dari banyak orang. Sedikit saja coba berpikir, seandainya kita yang berada di posisi tersebut, apakah memang masih bisa tertawa?

Saya selalu merasa miris dengan beberapa orang yang menganggap joke-joke seperti ini menjadi suatu hal yang biasa. Okelah, saya mengakui bahwa saya pernah berada di posisi tersebut, menjadikan sesuatu menjadi bahan lucu-lucuan tanpa berpikir apa dampaknya bagi orang lain. Sampai suatu saat, saya mendapat tamparan, ketika masih sering menggunakan Autis sebagai bahan dan kosakata dalam pergaulan.

“pernahkah kau berpikir, setidaknya satu kali saja. Ketika Adik, atau anakmu nanti yang mengalami Autis?”

Sebuah pernyataan sederhana. Bagaimana seandainya saya berada di posisi mereka? Apakah saya sanggup melewatinya? Apalagi saya tahu bagaimana perjuangan orang tua dengan anak-anak yang berkebutuhan khusus. Sedangkan saya semudah itu menjadikannya sebagai bahan lelucon?

Secara tidak sadar ada banyak diantara kita yang terbiasa menggunakan “kekurangan” orang lain sebagai bahan joke yang murah meriah. Mulai dari masalah berat badan, orientasi seksual, sampai bentuk tubuh. Semuanya menjadi sesuatu yang alamiah. Kenapa bisa? Inilah kultur yang berkembang dalam keseharian. Proses bully yang terjadi semasa sekolah, pun akhirnya terus berlanjut sampai bebrapa tingkat kehidupan. Pun media, seperti beberapa tayangannya, turut mendukung budaya ini. Betapa tidak jarang kita ikut tertawa ketika lawakan tentang hal-hal ini diluncurkan. Salahkah kita?

Saya bukan Tuhan yang menjawab benar dan salah. Tetapi cobalah sekali-kali berpikir berada di posisi orang-orang dengan “kekurangan” tersebut. Bagaimana rasanya fight dengan semua perbedaan kemudian menyadari bahwa itu sesuatu yang sama sekali tidak lucu, dan menjadi joke yang salah tempat. Silahkan bercermin sendiri, masihkah anda melakukannya?