Browsed by
Tag: media sosial

Relevansi dekade 80-an dalam budaya kontemporer.

Relevansi dekade 80-an dalam budaya kontemporer.

Beberapa kata yang harus ditinggalkan dan harus dilenyapkan pada tahun 2019 adalah kekinian, kids zaman now, ataupun kata-kata sejenisnya. Tahukah anda setiap menyisipkan kata tersebut dalam penggalan kalimat, ada satu anak kucing tidak bersalah yang tertabrak truk entah dimana? Jadi tolong berhentilah untuk berusaha (terlalu) keras merasa relevan dan memakai kata-kata tersebut. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa di masa depan mungkin saja penggunaan frase diatas akan terulang. Seperti itulah pola budaya populer. Sesuatu yang pernah hits di masanya akan didaur ulang dan dipopulerkan kembali dengan twist yang berbeda. Saya sendiri masih sering menggunakan kata doski, tuir, ataupun beberapa kosa kata lainnya dalam percakapan sehari-hari. Hal ini menjadi ragam dalam perkembangan budaya populer di masyarakat.

Seberapa seringkah pola pengulangan itu terjadi? Tidak ada yang bisa merumuskan atau meramalkan dengan pasti. Bisa jadi ada tim marketing yang membaca pasar dan membuat sesuatu menjadi kembali tren dan hip. Tetapi benang merah yang menjembatani euforia tersebut adalah ledakan nostalgia bagi mereka yang telah pernah merasakannya, atau mungkin jawaban atas kebosanan dari budaya yang sudah terlalu populer.

Sudah hampir setahun sejak saya menggunakan aplikasi Huji dan polaroid ketika mengabadikan momen-momen tertentu. Terima kasih untuk para pembuat aplikasi yang semakin memudahkan orang-orang untuk terjun dalam nostalgia dan estetika produk beberapa puluh tahun kebelakang. Saya pun pernah menggunakan kamera analog untuk memotret ketika mengikuti kuliah Fotografi. Saat ini pun beberapa orang kembali menggunakan tustel atau kamera kantung untuk mendapatkan hasil yang terasa ”lebih nyata” dibandingkan produk digital. Lucu yah, ketika teknologi semakin menawarkan kemajuan teknologi, beberapa orang masih merasa estetika produk analog masih mempunyai nilai tersendiri.

Lantas, bagaimanakah ketika efek retro tersebut masuk dalam produk budaya lain? Untuk anda yang mengikuti Pinot W. Ichwandardi atau @pinot di Twitter pasti sudah sering melihat bagaimana dia menggunakan teknologi lama dari Apple untuk membuat sesuatu yang baru. Mulai dari trailer Star Wars : The Last Jedi, Project video klip This is America dari Childish Gambino (*1), ataupun mereplikasi suasana tahun 80 an dari kota New York tempatnya bermukim. Menakjubkan dan mengagumkan ketika ternyata euphoria nostalgia melihat efek yang dihasilkan dari karya tersebut. Untuk proses kreatifnya sih, ya saya juga hanya bisa menganga mengikuti tautan cuitannya di kanal Twitter.

Salah satu kanal favorit saya di Youtube, TronicBox, malah mengimplementasikan “rasa 80-an” tersebut dalam beberapa lagu yang dirilis 5 tahun terakhir. Saya hanya bisa tersenyum-senyum sendiri ketika mendengar lagu-lagu tersebut. Ketika bekerja di radio, saya sempat membawakan acara ”Evergreen Corner” dan terpapar lagu tahun 80-an dan 90-an. Makanya range perbendaharaan musik saya bisa begitu luas (alah, bilang saja sudah tua!). Ketika mendengar Justin Bieber, Ariana Grande dan The Chainsmoker dirombak ulang dengan nuansa tahun 80-an. Mindblowing!

Rasanya aneh mendengar penjajaran dua genre yang berbeda bisa begitu ”tune” satu sama lain. Menyelami dan menyisir kolom komentar rasanya lebih absurd lagi. Beberapa ”memori palsu” yang mungkin exist di dunia paralel rasanya menjadi sangat relevan. Seperti yang terdapat pada kolom komentar video 80s Remix: Baby – Justin Bieber,

“Saw his comeback tour in 2001. The passion was completely gone you could tell he was just doing it for the money. But, I’ll never forget the time I saw him live in ’87. The way he sang was truly magical. I was in college, if I remember correctly I was a senior. I surprised my girlfriend with tickets to the show, and I had maybe my fondest moment at that show. Seeing him playing that sax was amazing. I’ve sense married the girl I brought to the show. Thanks for the memories Justin, rest in peace.”

Read More Read More

Catatan dari acara #FlashDesignMakassar.

Catatan dari acara #FlashDesignMakassar.

Saya sempat tidak memberi perhatian Ketika melihat poster acara Flash Design Makassar yang digagas oleh Kominfo berseliweran di linimasa. Pasalnya kemampuan saya bukan berada dalam ranah visual. Tetapi setelah melihat riuh percakapan teman-teman Blogger di grup Whatsapp, akhirnya saya memutuskan untuk turut serta. Kunci utamanya : ada mini workshop sebelum lomba.

Setelah molor selama 30 menit (haduh, kapan yah acara seperti ini bisa tepat waktu?), acara kemudian dibuka oleh Bogel, salah satu MC andalan Makassar. Beberapa urutan acara formal seperti menyanyikan lagu Indonesia Raya, sambutan Ketua Panitia dihelat sebagai penanda dimulainya acara. Sambutan berikutnya datang dari Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementrian Komunikasi dan Informatika RI, R. Niken Widiastuti. Banyak poin menarik selama pemaparan beliau seperti pencapaian sektor ekonomi kreatif tahun 2019 dan bagaimana anak muda bergerak menjadi enterpreneur, konsep dan konteks dana desa, sampai bahaya Whatsapp sebagai media dalam penyebaran hoaks.

Selepas Ibu Niken, masih ada Pak Andoko dari tim Komunikasi Presiden yang bercerita mengenai beberapa profesi anak muda dan perannya dalam membagikan berita. Tentunya konten yang dihasilkan dari penggunaan media sosial dan internet berbeda antara content creator, enterpreneur ataupun yang menggunakan sebagai media untuk melakukan kerja sosial. Intinya sih konten berada di tangan pengguna media sosial, jadi usahakanlah untuk terus menciptakan konten yang positif.

Read More Read More

Selamat Ulang Tahun, Pak Joko Widodo!

Selamat Ulang Tahun, Pak Joko Widodo!

Setiap era kepresidenan memiliki citra dan warnanya sendiri. Saya sendiri awalnya tidak terlalu aware dengan wajah perpolitikan Indonesia, kemudian larut dalam setiap perbincangan politik. Baik itu di berbagai kanal sosial ataupun ruang nyata. Hal ini tentu saja disebabkan karena tidak hanya pemberitaan mengenai kinerja pemerintahan dan politik di media massa, kini para politisi hadir lebih dekat dan terasa nyata melalui kanal media sosial.

Image by Yulianti Tanyadji. https://www.instagram.com/ytanyadji/

Dalam era awal media sosial, kata pencitraan kerap terdengar. Bahwa seseorang akan melakukan perbuatan tertentu untuk menaikkan nilainya dihadapan khalayak. Mengapa citra ini menjadi penting? Mengutip Arif Budiman (1) yang berkata bahwa citra berkaitan erat dengan suatu penilaian, tanggapan, opini, kepercayaan publik, asosiasi, lembaga dan juga simbol simbol tertentu terhadap bentuk pelayanan, nama perusahaan dan merek suatu produk barang atau jasa yang diberikan oleh publik sebagai khalayak sasaran (audience).

Tirto.id (2) bahkan menuliskan ulasan yang lengkap mengenai bagaimana Jokowi menjual citra politiknya. Dalam salah satu alinea liputan yang ditulis oleh Arman Dhani, tipikal komunikasi Jokowi adalah gemar melontarkan lelucon, tertawa lepas, bahkan tidak ragu untuk melakukan kontak fisik dengan siapapun. Seperti saat mengunjungi beberapa pondok pesantren, Jokowi mengundang santri untuk menjawab kuis yang jawabannya mengundang gelak tawa. Alih-alih menghardik atau memarahi mereka yang mengantuk, Jokowi bisa menghidupkan suasana dengan sikapnya yang tidak berjarak.

Read More Read More

Menikmati riuh media sosial dalam koridor pancasila.

Menikmati riuh media sosial dalam koridor pancasila.

Suasana media sosial di Indonesia itu sangat meriah, beragam dan seakan tidak pernah berhenti bergemuruh. Dalam kurun waktu 3 hari saja pembahasan di kanal sosial berganti dari harga sepatu presiden Jokowi, perdebatan antara vaksin dan anti vaksin, sampai perbincangan mengenai hasil pertandingan bola. Hal ini tentu saja sudah menunjukkan kemajemukan dan perbedaan yang sangat mendasar bagi masyarakat Indonesia. Apa jadinya semua orang bebas berpendapat?

Kemajuan teknologi tidak bisa dipungkiri mendukung perubahan perbincangan dan isu ini. Yang dulunya media hanya bersifat satu arah dan asupan informasi hanya didapatkan dari media mainstream seperti koran, televisi dan radio, sekarang berganti arah. Era media sosial mengubah semua orang menjadi narasumber, pakar dan ahli komentator. Akibatnya twitwar atau perang twit sudah menjadi menu keseharian. Kebebasan untuk mengutarakan pendapat di status Facebook pun menjadi sesuatu yang lumrah dan biasa. Tapi bagaimana kalau justru kemerdekaan itu malah kebablasan?

Jejeran pemateri

Hal inilah yang kemudian menjadi topik diskusi beberapa warganet dan beberapa narasumber yang berkompeten di bidangnya. Dalam acara yang bertajuk, ”Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Bermedia Sosial” diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika RI dan menghadirkan Prof. Dr. H. Muhammad Galib, M, MA yang membicarakan media sosial dalam lingkup fatwa MUI, Dr. Heri Santoso dari sudut pandang pancasila, dan juga Handoko Data dari Tim Komunikasi Presiden. Hari Rabu, 16 Juni 2017 bisa jadi hari yang berkesan untuk warganet Makassar. Karena banyak sinergitas ide dan pemahaman yang kemudian menjadi dasar untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial.

Read More Read More