Browsed by
Tag: Book Review

Memilah rasa dalam Kelas Memasak Lilian.

Memilah rasa dalam Kelas Memasak Lilian.

Banyak hal yang diturunkan oleh orang tua kepada anaknya. Tentang asal usul, cerita masa muda, harapan-harapan, ataupun tradisi keluarga dalam bentuk resep-resep andalan keluarga. Setiap rumah memiliki dapur yang berbeda. Tentunya beda pula rasa yang hadir di setiap hidangannya. Entah merayakan kelahiran, keriaan, hari raya, ataupun makanan kesukaan setiap anak.

Diantara 4 bersaudara, saya bersyukur bisa sedikit mengikuti jejak rempah dalam tangan ibu. Pernah di suatu masa beliau sering terkena asma yang membuatnya tidak mampu bangun dari tempat tidur. Kala itu juga harus ada yang mengambil alih komando dapur. Kakakku yang justru kuliah di jurusan tata boga tidak banyak membantu. Kami kemudian menjadi kelinci percobaan dari sekian banyak bumbu yang masih terasa asing. Oregano, parsley, mustard hanyalah beberapa contoh kecilnya.

Pun ketika bersekolah di Swedia, beberapa kali resep ibu menjadi obat mujarab untuk menghilangkan rasa rindu. Ratusan kilometer tidak menghalangi toppa’ lada, coto makassar ataupun tempe bacem hadir di meja makan. Disini pula saya kemudian berkenalan dengan banyak spektrum rasa baru. Sambil mencoba menyelami dan mengenal lebih jauh kebudayaan Swedia, saya dan beberapa teman banyak berbincang tentang 3 bumbu dasar masakan di sana. Garam, lada, dan butter. Hahaha.

Perasaan inilah yang saya temukan setelah membaca kembali Kelas Memasak Lilian karya Erica Bauermeister. Buku terbitan Bentang Pustaka ini mengajak kita untuk mengenal berbagai macam resep dan rasa dalam kelas memasak yang dilaksanakan setiap hari senin. Lilian sendiri adalah seorang pemilik restoran di New York. Setiap tahun dia membuka kelas memasak bagi mereka yang sedang tersesat dan membutuhkannya.

Read More Read More

This place you return to is home.

This place you return to is home.

radioholicz-home

“Apakah kamu tidak merasa sepi di tempat yang begitu asing, dengan bahasa yang tidak kamu mengerti?”

Seseorang pernah bertanya seperti ini kepadaku.

Saya hanya bisa menjawab, mungkin itulah konsekuensi sebuah perjalanan. Ketika ruang-ruang kosong dalam kepalamu tidak lantas menjadi sesuatu yang berisikan kesepian. Saya menganggap tempat ini serupa rumah kesekian. Ada ikatan yang harus dijalankan, dituntaskan, sampai waktu dan perihal lain yang membuat kita berjalan ke arah yang lain.

Sesungguhnya (mungkin) esensi rumah dan pulang itu hanya ada di dalam kepala.

***

I’m not running from.
No, I think you got me all wrong.
I don’t regret this life I chose for me.

Be careful what you wish for,
‘Cause you just might get it all.

— Daughtry ~ Home

Eleanor and Park : The Mixtape

Eleanor and Park : The Mixtape

Bagaimana mendeskripsikan cerita Eleanor and Park? Ketika kau menghela nafas bahagia berkali-kali setiap membuka halaman demi halaman.

Membayangkan 2 orang yang teralienasi dunianya masing-masing yang jatuh cinta karena The Smiths. Rainbow Rowell jenius menyisipkan banyak band indie dan playlist lagu-lagu yang tidak biasa. Seolah langsung mengajak kita mengikuti cerita mereka diiringi lagu-lagu tersebut.

Beberapa quote dan playlist yang ada mudah-mudahan bisa memberikan gambaran, bagaimana cerita Park, memulai ceritanya dengan Eleanor di antara percakapan di dalam bus, komik X-Men, dan Chuck Norris.

radioholicz-eleanor-and-park-mixtape

“Eleanor was right. She never looked nice. She looked like art, and art wasn’t supposed to look nice; it was supposed to make you feel something.” (Park)

“Holding Eleanor’s hand was like holding a butterfly. Or a heartbeat. Like holding something complete, and completely alive.” (Park)

[soundcloud url=”https://api.soundcloud.com/tracks/43471563″ params=”color=ff5500&auto_play=false&hide_related=false&show_comments=true&show_user=true&show_reposts=false” width=”100%” height=”100″ iframe=”true” /]

“I just want to break that song into pieces and love them all to death.” (Eleanor)

“There’s no such thing as handsome princes, she told herself. There’s no such thing as happily ever after.” (Eleanor)

[soundcloud url=”https://api.soundcloud.com/tracks/115741159″ params=”color=ff5500&auto_play=false&hide_related=false&show_comments=true&show_user=true&show_reposts=false” width=”100%” height=”100″ iframe=”true” /]

Read More Read More

The Girl with Glass Feet; tentang menemukan harapan.

The Girl with Glass Feet; tentang menemukan harapan.

Barangkali Saint Huda adalah tempat terakhir yang ingin didatangi sebagai tempat liburan. Dengan suasana yang kelam, rawa-rawa, hutan tidak bertepi dan kabut yang menyelimuti semua bagian pulau, menyebabkan keterasingan yang misterius diantara semua makhluk yang hidup didalam buku The Girl with Glass Feet. Tentu saja termasuk mitos-mitos yang terdengar tidak masuk akal sekalipun.

Pun kedatangan Ida Mclaird sebagian besar untuk mencari tahu apa yang terjadi pada kakinya. Perlahan namun pasti kakinya berupa kaca, memperlihatkan urat-urat yang mengalirkan darah segar. Dimulai dari telapak kaki, berlanjut hingga ke pangkal paha. Semua pencariannya kemudian berbalik arah ketika bertemu dengan Midas Crook. Seorang pemalu, hidup dalam pikirannya sendiri dan lembaran-lembaran monokrom cetakan fotonya.

Ketika kisah kemudian mengalir, kita akan mengetahui penyebab Midas Crook menjadi seorang penyendiri. Saya selalu tertarik dengan hubungan ayah dan anak, psikologi yang kemudian tertoreh dan menjadi bekal bagaimana seseorang akan bersikap kelak. Midas yang kesehariannya hanya diisi oleh Gustav, sang sahabat, bersama Denver, anaknya, pelan-pelan menemukan sisi-sisi kemanusiaan yang membingungkannya. Bagaimana bersikap dengan semua deru emosi yang melanda.

“… jalanan itu menurun. Dua burung camar terbang melintas, saling berpagutan sembari terbang, dan Ida menangkap sekilas mata kuning mereka. Tak lama kemudian burung-burung itu telah menukik sejajar dengan laut, sangat dekat dengan ombak-ombak yang memecah dan semburan air laut yang membuat jalan mereka berkabut.” (hal. 265)

Read More Read More