Browsed by
Tag: Advertising

Coca Cola dan Musik : seperti inspirasi yang tidak pernah berhenti.

Coca Cola dan Musik : seperti inspirasi yang tidak pernah berhenti.

Rasanya kejadian itu masih seperti kemarin. Masih tersisa di pelupuk mata. Kecelakaan beruntun yang membuat tulang selangka saya patah dan menyebabkan tangan kiri mati rasa selama 3 bulan. Harus dibebat dan digendong kemana-mana. Rasanya masih kemarin, ketika semua harapan saya pikir telah hilang. Dengan harus bedrest selama 3 bulan lebih, akhirnya saya memutuskan resign dari kerja. Akan jadi apa hari-hari selanjutnya?

Dokumen Pribadi

Hari-hari panjang yang harus dilalui bersama lusinan obat yang masuk ke tubuh, serta ngilu yang datang pada tulang ketika salah bergerak membuat saya putus harapan. Sepertinya semua jalan keluar telah tertutup dan semuanya harus diawali dari awal lagi. Mungkin saya tidak akan pernah bisa bertahan, tanpa musik. Yang setiap saat menemaniku, memberi semangat dan memberi harapan.

Saya selalu terenyuh ketika mendengarkan Guy Sebastian menceritakan tentang Taller, Better, Stronger, atau mendapatkan harapan ketika Kelly Rowland menyanyikan You Will Win. Mendengarkan Mariah Carey yang menguatkan pada track Through The Rain, terutama ketika mendengarkan lagu D’ Masiv dengan Jangan Menyerah. Itulah lagu-lagu yang menemani pagi, siang, dan malam. Pada saat itulah semua emosi saya tertumpah. Ketika rasanya hidup menjadi sesuatu yang tidak berarti, saya perlahan bisa menguatkan diri.

Image by http://creativedisc.com

Saya beruntung bisa memaknai seluruh perjalanan hidup ini dengan musik. Saya termasuk orang-orang yang memiliki kadar kecanduan parah. Besar dalam era generasi MTV membuat saya cenderung mendengarkan musik mainstream. 2 tahun terakhirlah ketika saya akhirnya bisa menikmati suara Harry Connick Jr, Michael Bubble dan Melody Gardot. Musik juga lah yang membuat saya memberanikan diri untuk menjadi penyiar radio. Dari radio liar, radio anak muda, sampai dengan radio bersegmen dewasa sudah pernah saya rasakan.

Ketika orang-orang berbicara tentang Andy Williams, Patty Smith, sampai Justin Bieber saya bisa melahapnya dengan mudah. Karena itulah prinsip saya. Selalu ingin mendengarkan lagu baru untuk dijadikan soundtrack kehidupan. Supaya di keesokan hari ketika saya mendengar lagu tersebut terputar, saya bisa mengingatnya dari bagian kehidupan yang mana serta kenangan yang menyertainya.

Perasaan seperti itulah yang selalu datang ketika menyesap Coca-Cola. Pelan, pasti, dan juga selalu bisa menenangkan. Pernah mengalami sebuah hari yang sangat panas, dimana semua hal berjalan diluar rencana? Saya pernah, dan berulang kali. Inilah resiko bekerja di industri kreatif dimana adrenalin selalu dipacu. Ketika hal itu terjadi, maka suara Amy Winehouse yang menyanyikan You Know I’m No Good serta sekaleng Coca Cola dingin sudah pasti bisa membuatku cooling down kembali.

Coca Cola selalu memiliki inovasi yang tidak biasa. Itu yang selalu saya pelajari. Ketika semua musik di radio dan televisi dihantam oleh pop melayu di pertengahan tahun 2009, Ello, Ipank, Berry, dan Lala menawarkan “Buka Semangat Baru”. Sebuah tindakan yang tidak wajar. Bisakah pesan yang ingin dititipkan sampai kepada audiens? Tapi sesuatu yang berbeda dan positif pastilah akan selalu mendapat jalan. Entah sudah berapa banyak teman di jejaring sosial yang sudah menuliskan tentang semangat baru ini. Semua orang sudah tertular virus itu, termasuk saya.

Image by http://media-ide.bajingloncat.com

Ini bukan tentang sebuah branding, bukan tentang sebuah pencitraan yang dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat. Tetapi tentang sebuah kesadaran bagaimana menginspirasi orang dan melakukan hal positif didalam hidupnya. Coca Cola tahu itu. Bahkan Hermawan Kertajaya dalam buku Marketing In Venus menegaskan bahwa ketika sebuah brand telah berhasil masuk didalam keseharian seseorang, maka tunggu saja sampai mereka akan menjadi orang-orang yang setia.

Seperti itulah musik bagi saya. Selalu membawa inspirasi dan semangat yang baru. Ketika Time Is Running Out pernah menjadi soundtrack saya ketika menyelesaikan skripsi, Just The Way You Are milik Bruno Mars yang menyertai saya jatuh cinta, pun ketika Won’t Go Home Without You dari Maroon 5 menjadi soundtrack saya ketika bertengkar bersama pasangan. Semuanya memiliki inspirasi dan ceritanya masing-masing.

Seperti cerita yang tidak pernah selesai, seperti itulah Coca Cola dan musik menemani perjalanan saya setiap hari. Selalu ada inspirasi baru, selalau ada harapan baru ketika menikmatinya. Karena bagaimanapun dunia adalah sebuah taman main yang besar dan kita membutuhkan musik untuk memaknainya.

Kisah tentang Indah Dewi Pertiwi dan Penghargaan Platinum

Kisah tentang Indah Dewi Pertiwi dan Penghargaan Platinum

“Album perdananya berjudul Hipnotis berhasil meraih penghargaan platinum.”

Mengapa hal ini menjadi menarik? Saya teringat dengan beberapa bulan yang lalu ketika berita ini tidak sengaja di retweet oleh seorang music director sebuah radio di Surabaya. Dia hanya berkomentar,

“Wajar saja kalau dapat platinum, wong semuanya dibeli oleh KFC”

Lantas, apakah memang trik ini memang salah? Mengingat lesunya pasar yang menjual album fisik baik berupa kaset maupun CD. Saat ini sudah semakin sedikit orang-orang yang mengunjungi toko CD untuk membeli album favoritnya. Bahkan Aquarius yang terkenal pun, menutup beberapa retailnya di beberapa kota. Termasuk juga perusahaan M-Studio yang dulunya bermain di sektor yang sama.

Selepas dari dunia radio, saat ini tidak pernah lagi saya mendengar berita mengenai album Artis Indonesia yang meraih platinum. Syarat seorang artis meraih platinum sendiri, apabila dia mampu menjual sebanyak 75 ribu kopi. Apakah saat ini angka tersebut masih menjadi angka yang sanggup dicapai? Beberapa tahun yang lalu mungkin saja jumlah minimal ini masih mudah diperoleh. Bahkan album Bintang di Surga milik kelompok Peterpan mendapat julukan multi platinum album.

Agak miris sebenarnya ketika berbicara tentang industri musik di Indonesia. Tentu saja hal ini tidak lepas dari masalah pembajakan dimana-mana. Mulai dari lapak yang bertebaran dari pasar kaki lima hingga emperan mall besar, sampai pada semakin banyak situs di internet yang menyediakan musik gratis. Cukup dengan 3 langkah mudah, kita sudah bisa menikmati album baru dari seorang penyanyi. Cukup dengan browsing, saving, dan voila! Semudah itu.

Nah, apakah semua artis harus masuk di Music Factory KFC sehingga bisa meraih platinum?

Tidak, saya tidak bersikap sinis. Cuma miris dan kagum disaat yang bersamaan. Bagaimana konsep marketing yang diterapkan bisa diibaratkan sekali dayung banyak pulau bisa terlampaui. Karena penjualan produknya dapat, albumnya juga lancer jaya. Walaupun belum tentu sasaran album tersebut mengenai pasar yang pas. Saya masih ingat ekpresi seorang Bapak yang memegang dan melihat sampul album IDP. Ini mau diapain? “Dilempar saja pak!” Karena kalau tidak bisa mengelak, maka jebakan Beli CD dapat gratisan ini itu ini itu dan lain sebagainya bisa didapatkan. Memangnya mau nongkrong di KFC tiap hari?

Terlepas dari konsep marketing yang cerdas, rasanya konsep beli-ayam-gratis-CD ini menjadi suatu hal yang menarik di industri musik Indonesia. Survival for the fittest. Siapa yang bisa masuk ke dalam pasar, akan bisa bertahan. Pertanyaannya kemudian, sah kah platinum yang didapatkan oleh IDP dan (mungkin) Agnes Monica?

Barang yang sudah dibeli (dapat) dikembalikan?

Barang yang sudah dibeli (dapat) dikembalikan?

Saya adalah tipikal orang yang tidak ingin membesar-besarkan masalah sepele atau hal-hal kecil. Seperti misalnya ketika membeli bakso, kemudian si penjual lupa member jeruk nipis. Ataukah ketika sedang antri parkir dan kemudian tahu bahwa sang kasir tidak memiliki uang kembalian 500 rupiah. Saya bukan tipe orang yang akan datang kembali meminta jeruk nipis atau membuat antrian sepanjang 1 kilometer di belakang saya hanya untuk 500 rupiah.

Tapi ketika saya membeli sebuah buku kemudian menyadari bahwa ada bagiannya yang rusak? Itu adalah sebuah masalah besar bagi saya.

Semuanya dimulai ketika saya membeli buku Water for Elephant karya Sara Greun. Saya selalu menyenangi bau sebuah buku baru. Seperti bau kehidupan yang menawarkan setumpuk imaji dan warna yang baru didalam pikiran. Setelah mendapat spot yang enak di sebuah kedai donat waralaba, saya pun pelan-pelan larut didalam Jacob Janskowski.

Buku Water For Elephants

Ketika menyadari ada halaman yang rusak, sebenarnya saya tidak terlalu memikirkannya. Tapi kemudian saya mencoba peruntungan saya. Mumpung saya masih berada di mall yang sama. Benarkah Gramedia akan menggantinya dengan buku yang baru? Mengingat memang cacat yang ada bukan karena kelalaian saya. Beberapa penerbit biasanya mencantumkan pengumuman ini di beberapa cetakan mereka. Bahwa karya yang cacat entah itu halaman robek, halaman terbalik, halaman yang kurang, bisa dikirimkan kembali dan akan mendapat sebuah cetakan buku yang sama. Apakah saya akan beruntung kali ini?

Berbekal struk pembelian dan bungkus buku yang ada, saya pun naik kembali ke Gramedia. Di counter Customer Service ternyata saya tidak mendapat kesulitan yang berarti. Setelah menjelaskan duduk perkara sambil menunjukkan struk pembelian serta plastik pembungkus, buku saya diganti. Sebuah buku dengan judul yang sama ada di tangan saya. Bahkan sang customer service kemudian menyarankan saya untuk membuka sampul plastik dan memeriksa tiap halaman buku tersebut. Kali ini aman dan semuanya utuh.

Sebenarnya sebagai konsumen, hak kita sampai dimana untuk mengembalikan sebuah barang? Karena biasanya ketika sampai di depan kasir, entah itu di supermarket ataupun di toko-toko lainnya, tulisan yang paling sering ditemui adalah,

“Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”

Lantas, bagaimana ketika sesampai dirumah, barulah kita menyadari bahwa ada diantara barang belanjaan kita yang cacat produk?

Setelah mengutak-atik dan menyelam di situs Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, ternyata memang belum ada pasal dan aturan jelas mengenai hak konsumen yang satu ini. Bahkan terungkap di beberapa kasus bahwa biasanya barang yang memang dibeli sudah termasuk kasus besar atau penipuan. Untuk kasus kecil tidak pernah disebutkan dalam aturan atau kasus di YLKI tersebut.

Seingat saya di beberapa supermarket ada ketentuan jenis barang yang boleh dikembalikan serta beberapa persyaratannya. Tentu saja harus lengkap dengan struk serta spesifikasi yang sama saat dibeli. Ini yang biasanya menjadi masalah.

Dalam kasus saya di Gramedia, syukurlah bukunya masih bisa digantikan. Artinya pelayanannya aftersalenya bisa dijadikan pegangan. tapi bagaimanapun juga semuanya tergantung dari konsumen sendiri. Bagaimana bijak memilih dan melihat kualitas produk. Jangan sampai rugi dua kali. Sudah barangnya tidak bisa digunakan, eh tidak bisa dikembalikan pula.