Browsed by
Tag: #30HariMenulisSuratCinta

Apakah Bandung sejauh itu, Inne?

Apakah Bandung sejauh itu, Inne?

Untuk @susterinne

Halo, apa kabarmu disana? Masih sibuk dengan semua kegilaan pasienmu kah? Semoga semuanya lancar-lancar saja.

Inne, Seminggu berlalu sejak ulang tahunnya. Mungkin kamu pun sudah lupa. Karena saya hanya sekelibat bertanya saja kepadamu. Meminta tolong untuk mengantarkan kado untuk seseorang. Dia yang pernah mengisi hatiku. Inne, kami akan balikan. Setelah dulu saya merasa insecure dengan hubungan kami. Apakah memang Bandung sejauh itu, inne?

Makassar – Bandung bukan sesuatu yang dekat. Pun bukan kali pertama pula saya menjalani hubungan seperti ini. Mencoba membayar sebuah hubungan dengan taruhan jarak dan perhatian. Dan ternyata berkali-kali pula saya kalah dalam perjudian ini. Bukan, saya tidak pernah selingkuh. Jangan menatapku seperti itu Inne, saya bukan tipe cowok tidak setia. Mungkin lebih parah dari itu.

image by abdullahcoskun.deviantart.com

Saya selalu merasa tidak aman tentang hubungan. Merasa takut duluan. Ujung hubungan ini akan kemana? Sampai menikah? Kalau nggak, gimana nantinya? Mending skalian gak usah daripada berhenti di tengah jalan. Ya, itu adalah sebagian dari isi kepalaku. Yang terkadang begitu riuh dengan debat kusir yang tak henti. Akhirnya saya tidak kemana-mana, Inne. Bahkan tidak berani untuk mempertahankan cintaku sendiri.

Hari ini dia kembali ke bandung. Selama 2 hari dia travelling, sambil mengikuti short course di negeri gajah putih. Kami masih sms an. Bertukar kabar. Bahkan dia pun masih sempat bercanda, sempat cari jodoh disana. Tapi terjebak dengan obrolan menyebalkan bersama orang India. Kami tertawa bersama. Ya, hubungan kami dalam taraf seperti itu.

Seperti apa? Entahlah Inne, saya juga tidak mengerti. Dalam permintaannya untuk memperjelas bentuk hubungan kami, saya masih belum bisa memberi kepastian. Apakah dia yang terlalu mempush hubungan ini, ataukah saya yang memang belum mau terikat (lagi). Menumbuhkan rasa cinta itu tidak mudah. Walaupun saya belum move on, masih ada pikiran apakah memang saya mau balik sama dia atau tidak. Lagipula itu masalah saya. Sampai kenyataan saya mengetahui, dia pun juga belum move on.

Saya jahat yah? Makanya Inne, tolong jangan hakimi saya dengan tatapanmu seperti itu. Saya tahu memang saya pengecut. Tapi kali ini saya ingin lebih jujur dengan perasaan sendiri. Apakah memang saya merasakan cinta? Apakah “kupu-kupu” itu masih beterbangan di perutku ketika memikirkan dia? Bandung itu jauh Inne, sejauh keinginanku untuk mengikatkan kepada sesuatu yang bernama hubungan.

Kalian menghirup udara yang sama Inne, di Bandung sana. Saya hanya bisa menyampaikan surat ini kepada kamu. Dengan harapan, ketika suatu hari saya meminta tolong yang aneh-aneh, kamu bisa menyanggupinya. Nanti, di kala hatiku telah berkata sesuatu. Saya harap kamu bisa menjadi penyambung rasaku dengan dia. Dan Bandung tidak terasa jauh lagi. Terima kasih.

Sekolah Pesisir, Sekolah kehidupan.

Sekolah Pesisir, Sekolah kehidupan.

Untuk @sekolahpesisir

Hujan menderu, seolah saling berlomba jatuh ke bumi. Suara kecipak air sangat jelas ditelinga. Seakan-akan mereka saling teriak dan jumpalitan di atas atap seng. Sesekali angin menderu, terkadang menyelip di sela-sela papan. Membawa dingin turut serta. Tidak jauh, debur ombak saling berlomba memecah dipantai. Bahaya tsunami langsung membayangi. Apakah saya akan selamat melewati malam ini dan bertemu pagi?

Itulah malam pertama saya menginap di Sokola. Saya lebih senang menyebutnya Sekolah Pesisir. Maklum saja, letaknya yang berada di pesisir pantai Losari dan berada di tengah perkampungan di Mariso. Membuatnya terdengar kumuh? Memang begitulah keadaan yang bisa dilihat setiap hari. Pagi, siang, maupun sore hari. Ketika saya duduk di beranda Sokola.

Anak-anak Sokola

Saya sendiri tidak sengaja terjebak di tempat ini. Sebuah tempat yang penuh keajaiban. Hari pertama menginjak Sokola, saya selalu berpikir, mampukah saya membawa diri dan melebur di tempat ini? Maklum saja, skripsi yang saya kemukakan harus bersifat partisipatif. Harus melihat lebih dalam dan lebih jauh. Maka resmilah petualangan saya menjadi bagian dari Sekolah Pesisir.

Read More Read More

Untuk Nona Lolita, kaulah dewiku!

Untuk Nona Lolita, kaulah dewiku!

Halo apa kabar nona Loli?

Suatu ketika saya menceritakan hastag #terloli ke beberapa teman. Mereka cuma bisa terlongo,

“lucunya dimana?”

Mereka sama dengan saya. Masuk di ranah twitter dengan kepentingan berbeda ternyata membuat kami memfollow akun-akun yang berbeda pula. Diantara semua akun, ternyata timeline saya selalu penuh senyum ketika melihat akunmu. @tlvi.

@tlvi

“Jangan mau pacaran sama anak twitter, nanti ketahuan kelakuan aslinya”

“Ngapain mandi, nanti juga kotor lagi”

Ada ketertarikan dalam mentertawai absurditas dunia ketika melihat kau berucap. Melalui twit-twit singkat namun terkadang menohok, membuat saya sering bertanya, “mampukah saya melakukannya?”

Bukannya apa, saya jadi ingat perkataan teman yang lain. Dia juga mengikuti celotehanmu. Suatu hari dia berkata,

“kalau mau nyinyir, lakukanlah dengan cantik. Seperti @tlvi”.

Dan saya setuju dengan perkataannya. Maklum saja, saya termasuk orang yang sering nyinyir, tapi tidak dalam dosis yang tepat. Akhirnya? Orang-orang menghujat. Mereka tidak mengerti kadar kenyinyiran saya dan membuat saya perlahan menyimpan nafsu sarkas itu. Oh, i miss my old life 😛

Nona Loli, apa sebenarnya yang ada di pikiranmu? Ketika melepas twit-twit seperti ini?

“Selamat pagi, pemilik punggung sasaran empuk pelukan.”

“Selagi single puas-puasin deh sendirian, biar pas udah nikah nggak masih aja kebelet ngejomblo.”

Apakah memang sepi selalu bermain di pikiranmu. Ataukah itu hanya topeng yang kau gunakan untuk menjebak para perasa yang merasakan hal yang sama? Kalau memang itu hanya perangkap, maka saya mungkin salah satu laron bodoh itu. Selalu terjebak pada permainan perasaan sekaligus tertohok pada kalimat tentang hubungan. Ya, nona Lolita, saya orang yang susah mempercayai suatu hubungan. Selalu merasa insecure. Mungkin nanti, ketika bertemu dengan orang yang tepat. Baru saya merasa nyaman. Sudahkah kau bertemu dengan orang itu?

Tidak selamanya orang bermulut pedas itu jutek dan sangar. Biasanya justru mereka memiliki segudang perhatian walaupun harus dengan kata-kata yang tajam. Ada sindiran dan dorongan untuk mengubah orang. Begitulah caramu, dan begitulah mungkin caraku untuk memaknai hidup. Dengan melihat sudut pandang dan memaknai absurditas dunia dengan kenyinyiran.

Salah satu senyummu yang memesona

Terima kasih untuk twit dan semua kenyinyiranmu. Itu bisa melepaskan sedikit bagian diriku tanpa menyakiti orang lain di sekitarku. Salam hangat selalu untukmu. Sang dewi kenyinyiran. (kamu bukan ratu jomblo kan @tlvi?)

Di Pemakaman Hati Kita

Di Pemakaman Hati Kita

Penanda apakah itu sayang? Ketika bunga mekar di sepanjang jalan. Di tempat kita biasa mencuri waktu. Menghindari belasan mata yang memandang aneh. Menyisipkan imaji tentang biru, merah, hijau. Segamblang itu perasaanku. Kala memegang, mengusap, memainkan bagian apa saja di tubuhmu. Semeriah itu. Seramai itu.

16. 45. Itulah waktu favorit kita. Diantara 24 jam yang berputar sepanjang hari, entah berapa banyak dan berapa lama waktu yang kau curi di pikiranku. Berayun searah jarum jam. Entah dengan mimik marahmu, entah dengan senyum lugumu, bahkan ekspresi kagetmu pun masih kuhapal dengan jelas. Sepolos itu.

Image by http://supermalade.deviantart.com/

Apakah hatimu telah mati? Sesederhana itu pertanyaanku. Kita masih di jalan yang sama. Bunga-bunga itu telah mati. Terpapar sinar matahari atau hujan berlebih. Atau memang sudah saatnya mereka terganti. Dengan tunas dan pucuk baru. Bahkan kita tidak bisa menahannya. Tidak ada lagi pandangan menyelidik kala jari tergenggam, tangan merangkul. Kecup pun tidak ragu menghiasi pelupuk dahimu. Sebahagia itu.

Apakah hatiku telah mati? Sesederhana itu pertanyaanmu. Diantara 24 jam yang seolah berlari, tidak ada lagi penanda darikuu. Ternyata kau masih menunggu di tempat itu. 16. 45, di jam favorit kita. Tidak ada lagi yang bisa menirukan wajahmu sedemikian rupa selain aku. Lesung pipi yang sering saya pegang kala kau tertawa. Kau merindukannya.

Disinilah kita berdiri sekarang. Di pemakaman hati kita. Berdiri saling melirik. Saling mematikan perasaan satu sama lain. Tidak lebih dari kenangan. Tidak ubahnya seperti cerita lalu. Kita masih berempat seperti dulu. Ketika saya pertama bertemu denganmu. Kau bersama pacarmu, saya bersama kekasihku.