Semangkuk bakso dan cerita tentang Ade Namnung

Semangkuk bakso dan cerita tentang Ade Namnung

Cerita kali ini tentang hujan di mulai dari semangkuk bakso panas. Selepas dari percetakan, saya niatnya ingin langsung pulang saja. Belum makan malam dan sudah hampir jam 8 pula. Ternyata nasib berkata lain. Badai hujan beserta angin tiba-tiba datang. Kesimpulannya, kalau saya berkeras pulang, hanya kuyup yang saya dapat. Walaupun sudah menggunakan mantel dan jaket. Pasti tetap basah.

Syukurnya di depan percetakan, terdapatlah sebuah (bahasanya) gerobak bakso lengkap dengan daengnya (ya iyalah!). Masih hujan badai, jadinya mending makan bakso saja dulu. Jadilah seporsi bakso panas terhidang dengan sambal yang pedas dan bawang goreng yang melimpah. :9

Penampakan gerobak bakso penyelamat nyawa

Sesampainya di suapan ke-5, tiba-tiba ada suara menyela acara makan bakso saya,

“berat kamu berapa dek?”

Jleb yang pertama.

Seandainya saya dalam mode emosi dan sensi, pastilah mangkok bakso sudah melayang kepada si empunya pertanyaan. Malah dengan muka polos dia seolah menunggu jawabanku. Jurus senyum-malas-jawab-pertanyaan-itu tidak mempan, dia masih menunggu.

“90 sekian-sekian bu”

“berat yah, saya saja 65 kilo. Kamu hati-hati, nanti kayak Ade Namnung”

Jleb yang kedua.

Entah ada apa dengan sang ibu. Dia kemudian menceritakan dengan fasih kronologis berpulangnya artis dengan tubuh yang lumayan tambun tersebut. Sepertinya dia menyimak setiap tayangan infotainment beberapa hari ini. Sampai artis-artis yang hadir di pemakaman pun dia sebut dengan lengkap.

“kasihan dia dek, bernapas juga sepertinya susah karena terlalu gemuk”

Entah saya harus bereaksi bagaimana lagi. Sambil mencoba menghabiskan bakso yang sudah saya pesan, pikiran saya menjalar kesana kemari. Seorang teman pernah berkata tidak usah memikirkan penyakit kalau sedang makan, itu namanya tidak mensyukuri rejeki. Tapi saya pikir, kita juga bisa mengendalikan apa yang masuk ke dalam tubuh, dan menjadikannya selalu sehat.

Lantas bagaimana dengan saya?

Saya termasuk orang yang rawan. Dengan postur tubuh yang besar, menjadikan beberapa penyakit fatal bisa bersarang dengan mudah. Toh dokter juga sudah mewanti-wanti. Melihat usia yang masih muda, patutnya menjaga kesehatan dengan layak.

Kalian khawatir dengan saya?

Terima kasih. Setelah mengalami pasang surut mood berolahraga, saya memasuki fase yang lain. Ini adalah bulan kedua saya excersice di gym. Bermodalkan nekat dan badan yang serasa patah-patah sehabis latihan, saya rela menjalaninya. Semangat saya belum padam, dan semoga tidak. Saya juga sudah mengatur pola makan. Mengurangi cemilan dan mengganti makanan pokok dengan beras merah. Terdengar berlebihan? Percayalah, hidup saya sekarang lebih sehat.

Kartu anggota gym, bulan kedua 😀

Jadi ketika semangkuk bakso masuk ke dalam lambung diatas jam 8 malam, saya harus menebusnya dengan latihan 2 kali lebih banyak di keesokan harinya. Seperti itu saja perhitungannya. Apa yang keluar harus lebih banyak daripada yang masuk kedalam tubuh. Apa bisa selamanya?

Saya cuma bisa melakukan yang terbaik. Sehat itu pilihan, tinggal bagaimana saja kita menjalaninya. Bakso saya telah habis, sang ibu juga sudah berhenti bercerita. Saatnya pulang dan berhibernasi.

15 thoughts on “Semangkuk bakso dan cerita tentang Ade Namnung

    1. muahahaha, ayo kakaak. trainer ku itu bodybuilder dan tentara. jadi sudah kebayang bagaimana sesi tiap latihan. *pacaran sama balsem geliga tiap malam*

    1. wakakaka, masalahnya mukanya itu ibu asli polos. jadi dia tidak niat menyindir, cuma ingin tahu. tapi teteuuup, itu kan hak asasi beruang!

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.