Kesempatan kedua.

Kesempatan kedua.

Mengukur skala perubahan sebuah kota mungkin harus melihat indikasi pembangunan yang semakin kencang. Perumahan elit yang kemudian menjamur, deretan ruko yang menghiasi jalan utama kota. Berujung pada lengsernya pasar tradisional dan digantikan gerai supermarket 24 jam. Tapi tidak ada yang berubah pada taman ini. Mataku masih dengan jelas menghitung jumlah kursi yang ada. Sesekali beberapa orang melintas. Entah sedang berlari atau hanya jalan santai.

Image by http://sweet-reality-xo.deviantart.com/
Image by http://sweet-reality-xo.deviantart.com/

Sebagai salah taman di pusat kota, tempat ini selalu ramai menjelang senja. Sama seperti ketika saya menikmati tempat ini berdua, membicarakan tata kota yang semakin semrawut. Hanya berdua dengannya. 3 tahun yang lalu.Sesekali tanganku melihat jam. Bukan kebiasaan Tita untuk telat seperti ini. Jangan salah, saya mengenalnya seperti mengenal jejalur nasib yang katanya sudah terpatri di garis tangan. Pun pertemuan ini hanyalah puncak dari belasan pesan singkat yang kukirimkan kepadanya. Setelah satu pernyataan singkat, saya ada di kota ini lagi.

“Ndra, apa kabar?”

Senyumnya terkembang. Melihat saya berdiri didepannya.

“kok kamu diam saja?” lanjutnya lagi.

Saya masih tersenyum. Tidak ada yang berubah darinya. Dengan rambut sebahu, dia selalu merapikannya dengan potongan layer yang tipis. Kulitnya yang kecoklatan berbalut blazer berwarna biru. Ada emblem sebuah bank yang menyepit di dada kanannya. Seberapa jauh kamu sudah melangkah, Tita?

“Saya baik saja kok. Terima kasih untuk doa-doamu”

Ada rikuh yang tertangkap oleh mataku. Tatapan pilu itu, aku hapal dengan jelas. Sesungguhnya tanganku pun ingin langsung merengkuhnya dalam pelukku. Menyisir helai demi helai rambutnya yang berbau strawberry. Mengukur betapa lenganku bisa dengan tepat melingkar di bahunya. Tapi saya harus bertahan. Mencoba melawan rasa yang pernah ada.
Pelan matanya melihatku dari atas ke bawah. Entah apa yang dia cari. Apakah memang seseorang bisa berubah hanya dari melihat fisik? Aku merasa sempurna hari ini. Dengan jeans butut dan kemeja Executive hasil diskon besar-besaran. Entah apa yang dia cari.

“kenapa kamu tiba-tiba pergi Indra? Apakah saya tidak cukup baik untuk kamu?”. Ujarnya hampir terisak.

Saya benci momen emosional seperti ini. Padahal dari belasan pesan yang berbalas kami telah bernjanji akan bertemu seperti teman lama. Bercerita tentang laju kota yang bahkan sudah hampir tidak kukenali. Bercerita tentang kabar ibunya, tentang kegemarannya pada Adam Levine, sampai janji untuk mengunjungi sebuah restoran favorit kami. Hanya demi masa lalu.

“Apakah kita harus mengulang percakapan itu lagi Tita? Sudah cukup air mata yang kau keluarkan untukku 3 tahun yang lalu di bandara. Kamu tahu alasanku untuk pergi”

“Tidak, saya tidak akan pernah mengerti, Ndra. Menurut kamu saya egois kalau saya menahan kamu disini? Kamu pikir saya tidak akan runtuh menghadapi semuanya sendiri?”

“Karena memaklumi itulah saya justru pergi. Saya tahu kamu kuat. Buktinya, 3 tahun yang lalu kau masih gamang memilih antara bekerja atau melanjutkan kuliah. Kamu bisa menentukan pilihan”

“Tapi semuanya berbeda, Ndra. Semuanya harus aku hadapi sendiri”

“Sendiri memang selalu mengerikan. Bukankah kamu sendiri yang selalu berkelakar. Bahwa sebenarnya Tuhan sangat menyayangi para kaum jomblo? Diberikannya mereka hati yang kuat menampung semua beban dunia.”

Tidak ada yang berubah dari mimik sedihnya. Dengan sedikit terisak dia mulai mengeluarkan sapu tangan untuk menyeka matanya. Tahukah kau betapa saya ingin menyeka air mata itu dengan lengan bajuku?

“Lantas, dari semua beban yang mampu aku tanggung, kenapa justru kehilangan kamu menjadi hal yang terberat?”

Kami bersitatap. Mencoba mengukur jarak yang tercipta di hati. Kenapa justru hal itu yang paling membuat jauh. Padahal kami berdiri berhadapan. Hanya sejauh 2 meter.

“Sebenarnya pertanyaan yang sederhana. Bukan sendiri yang membuat kita jatuh. Tetapi memikirkan kesendirian itu. Kenapa kamu harus sedih? Bukannya kamu punya ibu, punya teman yang lain yang bisa membuatmu fokus dengan hidup”

“Jadi kamu anggap apa semua cerita kita? Tentang mengarungi hidup berdua?”

“Tita, apa kamu yakin suatu saat saya tidak akan meninggalkan kamu? Perpisahan hanya tinggal menunggu waktu. Kali saya memiliki hak prerogatif untuk itu. Saya mendahului keinginan nasib. Saya yang memutuskannya”

“Kamu egois!” tangisnya akhirnya membuncah. Terisak sambil memeluk dirinya sendiri. Tanganku hampir terulur memeluknya, entah apa yang menahanku. Saya tidak boleh lemah kali ini. 3 tahun bukan waktu yang sedikit. Perlahan saya mengingat alasan-alasan kecil yang membuatku pulang kembali ke kota ini. Kota yang penuh kenangan akan Tita disetiap sudutnya.

“Saya tidak bisa berkata apa-apa lagi Tita, tidak kali ini maupun esok. Mungkin kita sudahi saja pertemuan ini. Juga percakapan-percakapan kita. Semuanya menjadi terlalu perih untukku”

“Tapi kenapa, Ndra, kenapa dulu kamu harus pergi?”

Akhirnya tangan kami bersentuhan. Biarlah Tuhan marah atas kegoyahanku sore ini. Tidak akan kulepas saat ini, saat perempuan yang sangat kucintai ada didepanku. Menangis karena ego laki-laki. Kupeluk tubuhnya. Membiarkan keremangan senja melepas pertemuan kami untuk terakhir kalinya. Mungkin.

***

Tidak ada lagi yang tersisa di taman ini. Orang terakhir berolahraga baru saja selesai. Beberapa lampu taman mulai menyala. Sayup adzan maghrib samar-samar terdengar. Saya mengantar Tita ke parkiran mobil. Di tempat sebuah Terrano hitam sudah menunggu.

“Apa kabar Indra?”

Pertanyaan yang sama terdengar lagi. Saya mulai terbiasa mendengar semua orang mengucapkan itu kepada saya.

“Alhamdulillah baik. Terima kasih untuk semua doa-doanya.” Jawaban standar saya yang sudah menggantung di ujung lidah.

“Bagaimana kemonya? Lancar?”

“Entahlah Dan. 12 kali kemo dan keluar masuk rumah sakit rasanya sudah cukup. Saya cuma ingin tenang sekarang. Saya titip Tita yah.”

Kulihat wajah Daniel. Lelaki yang telah kutitipkan perempuanku. Lelaki yang telah menjadi sahabatku bertahun-tahun. Saya yakin semuanya akan baik-baik saja. Karena saya yakin dia mampu membahagiakan Tita. Bukan seorang laki-laki dengan penyakit kanker, seperti saya.

4 thoughts on “Kesempatan kedua.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.