Jalan-jalan sabtu sore.

Jalan-jalan sabtu sore.

Saya sangat menyukai berjalan kaki berkeliling kota. Ketika di Jakarta, keadaan memaksa saya untuk banyak berjalan. Untuk ke halte busway, mencari warteg untuk makan, ataupun mencari jalan pintas dari mal ke mal. Sesampainya di Stockholm, kebiasaan ini malah menggila. Ya karena keadaan juga sih, biasanya saya harus berjalan minimal 5 Kilometer setiap hari. Lah kok bisa?

Sistem transportasi telah dibuat sedemikian rupa sehingga harus diakses melalui berjalan kaki. Dari rumah landlord, saya harus berjalan sejauh 800 meter-1 kilometer untuk mencapai stasiun kereta api. Begitu juga sesampai di kampus, saya menempuh jarak yang sama untuk mencapi gedung kuliah. Belum lagi kegiatan saya berkenala di area Södermalm, biasanya saya mencapai 10 Kilometer sehari. Balik ke Makassar? Huhuhu, sedih.

Satu hal yang saya rasakan ketika balik ke Makassar adalah budaya jalan kaki yang semakin menghilang. Semuanya digantikan naik motor matic kemana-mana. Bahkan hanya untuk ke warung sebelah pun. Cerita saya mengenai petualangan berjalan kaki di bilangan wilayah Singa akan saya ceritakan lain kali. Pokoknya pejalan kaki menjadi pengguna jalan kesekian kalo boleh dibilang.

Karena lama tidak berjalan berkeliaran entah kemana (halah, bilang aja kalo lagi kosong banget), saya memutuskan untuk menikmati sabtu sore dengan menjadi seorang wanderlust. Seorang pejalan di kota sendiri. Mendengarkan playlist ipod di telinga, sambil berjalan lebih pelan. Menikmati interaksi di jalan-jalan dan menikmati waktu lebih lambat.

Setelah memarkir Andra (sepeda motor kesayangan) di gerai donat berlisensi di jalan Hasanuddin, saya menyisir Jalan Muchtar Lutfi menuju ke arah pantai Losari. Tadinya ingin parkir di gerai ayam berlisensi di Ratulangi, cuma lagi ramai karena event. Sesampainya di anjungan Pantai Losari, satu hal yang menjadi perhatian saya adalah sejak kapan anjungan tengah menjadi sekumuh ini? Sering kali melintas melihat para pedangan ramai menjajakan jualannya. Rupanya area jualan sudah masuk ke anjungan utama ☹

Haruskan ruang publik seperti anjungan dijadikan lahan jualan? Ya ketika berbicara menggerakkan ekonomi lokal, pasti semua orang mendukung. Tapi di lain pihak, saya merindukan anjungan yang dulunya menjadi area yang bebas untuk bermain. Anak-anak berlari kesana kemari, ataukah saya bebas mencari sudut yang sepi untuk menikmati matahari tenggelam. Sekarang yang tersisa hanya anjungan Mandar yang menjadi area bebas jualan. Setelahnya, sepanjang jalan menuju hotel Makassar Golden Hotel, kita akan disajikan berbagai gerobak pisang epe’, jagung bakar, kacang kulit, dan beraneka minuman. Inilah dulu yang membuat Kota Makassar terkenal sebagai restoran terpanjang di Indonesia.

Setelah mengambil foto di beberapa tempat, saya melanjutkan perjalanan ke arah timur. Pokoknya sampai kaki ini lelah berjalan. Mau menunggu matahari terbenam di Losari juga masih nanggung. Jadilah saya menuju perhentian berikutnya. Kopi Ujung. Ya seperti pengetahun kita bersama, banyak pilihan kopi yang bisa dinikmati. Saya memilih Kold White untuk on the go, supaya saya bisa melanjutkan perjalanan.

Sesampainya di depan Pelabuhan Kayu Bangkoa, saya mencoba melihat matahari. Ternyata belum terbenam seutuhnya. Sambil menyesap kopi sedikit demi sedikit, saya mengamati aktivitas masyarakat pulau yang hendak kembali atau akan ke Makassar. Tak sering pula saya ditawari untuk menyewa perahu ke pulau-pulau yang bisa ditempuh dari Kayu Bangkoa. Misi saya sore itu sederhana. Hanya berjalan kaki kemana hati melangkah.

Matahari terbenam dengan sempurna ketika saya melintas di depan Benteng Rotterdam. Lokasinya? Area jualan seafood. Hahaha. Saya sempat mengambil beberapa foto disana. Walaupun matahari terbenam tertutup awan, cukuplah menyenangkan hati melihat semburat jingga di langit. Saya pun melanjutkan perjalanan menuju RRI ketika adzan maghrib berkumandang. Break maghriban dulu jendral!

Kelar shalat, saya juga memastikan makan malam keluarga ditunda karena Kusma masih berada di Pangkep. Perjalanan kemudian saya lanjutkan menuju Jalan Pattimura. Setelah minggu yang panjang dan demikian adanya, saya merindukan rasa sushi ditemani wasabi dan kecap asin. Sekali lagi tidak ada yang memburu. Hanya saya dan sabtu malam yang susah payah dihabiskan. Di restoran sushi itupun saya tidak terburu-buru. Bertemankan buku A Little Life, saya menikmati atmosfer restoran. Agak aneh sih melihat orang membaca buku, tapi ya bodo amat.

Kenyang makan malam, saatnya melanjutkan bacaan yang tertunda. Saya berjalan kaki menyusuri Jalan Hasanuddin untuk kembali ke gerai donat tersebut. Malam semakin ramai. Mobil-mobil saling bersahutan klakson. Motor pun tidak kalah ingin berjalan secepat mungkin. Sementara saya? Hanya bertemankan sebotol air dan sebuah buku, menghabiskan sabtu malam tanpa tergesa, tanpa terburu.

Saya harus sering melakukan jalan kaki ini! Bagaimana akhir pekan kalian? Semoga menyenangkan yah!

15 thoughts on “Jalan-jalan sabtu sore.

  1. Halo Kak Iqko. Membaca buku, duduk sendiri di resto, itu keren lho. Yang merasa aneh itu yang aneh hihi. Selalu dinamis sih area Pantai Losari, selalu berubah. Sekarang lagi zamannya jadi tempat festival, pertunjukan, dll. Tapi tetap ramai, apalagi di Sabtu dan Ahad.

  2. saya pikir hanya saya yang kadang jalan-jalan sendiri menikmati keramaian kota, hanya ditemani sebuah headset, wkwkw. Bener banget kak, jika budaya jalan kaki di Makassar makin lama hilang, dna mungkin skrg sudah hilang…

    bikin club jalan kaki dong kak hehehe (apasih)

  3. Kakak, ajakin dong bersabtu malam dengan jalan kaki menyusuri Makassar. Lagi kosbang-kosbang juga ka ini saya rasa.

  4. Tapi sekarang sekitar jl. penghibur itu sudah lumayan sih trotoarnya untuk pejalan kaki, cuma memang masih banyak yang jualan. Jadi kapan jalan kaki berakhir makan pizza lagiiii? hihiyy

  5. Ahahah, saya ngetawain diri sendiri habis baca tulisanta kakak. saya juga suka kek gitu, jalan-jalan kaki, atau jalan-jalan sendiri, nongkrong di cafe kadang suka sendiri sambil baca novel biasanya XD

  6. Saya juga suka jalan kaki kalau kemana-mana (kalau lagi sendiri) malah pernah ke jakarta pertama kali dan saya tidak tahu jalan disana,
    cuma modal nekat, malah lebih seru jalan sendiri kalau ada tempat yang mau di kunjungi berasa tenang dan mau kemana-mana tidak ada yang rempong.

  7. Betul sekali budaya jalan kaki kita memang nyaris hilang. Itulah mungkin salah satu sebab banyak sering sakit. Dulu waktu masih kerja, jarak kantorku dari rumah 4 km dan sekali seminggu saya ke kantor jalan kaki. Deh rasanya terlihat aneh atau mungkin ada yang mikir habismi uangnya karena akhir bulan

  8. Setuju dengan gagasan kk tentang budaya jalan kaki di Makassar bahkan di Indonesia sudah berkurang.. Mungkin karena tatanan kota Makassar yang belum ramah dengan pejalan kaki. Di tambah lagi dengan prilaku pengendara kepada pejalan kaki yang kadang kurang baik.. Harusnya mendahulukan pejalan kaki, tapi hampir setiap kali saya jalan kaki malahan saya harus mengalah dengan pengendara..

  9. Wah saya setuju mengenai Losari kak. Saya agak terganggu dengan penjual disana apalagi kalo sore-sore suka ada pameran2 reptil, rasa ingin pingsan saya si fobia reptil kalo ke losari. Btw saya jadi ngiler liat foto sushi dan auto lapar apalagi jam segini duh😭

  10. Atmosfer Jakarta memang selalu menuntut untuk banyak jalan kaki. Berbeda dengan di Makassar. Saya juga merasakan budaya jalan kaki itu hilang. Jarak dari rumah ke kantor yang hanya sepelemparan upil, saya tempuh dengan naik ojek/bentor. Padahal dulu di Jakarta, jarak dua hingga tiga kali lipat dari itu saya lalui.

  11. Atmosfer Jakarta memang selalu menuntut untuk banyak jalan kaki. Berbeda dengan di Makassar. Saya juga merasakan budaya jalan kaki itu hilang. Jarak dari rumah ke kantor yang hanya sepelemparan upil, saya tempuh dengan naik ojek/bentor. Padahal dulu di Jakarta, jarak dua hingga tiga kali lipat dari itu saya lalui.

  12. Sy baru kembali ke makassar awal 2017 lalu. Dan saat itu masih ada BRT, saya jd senang kemana mana jalan kaki trus naik BRT ini biar ala-ala dijakarta. Klo BRTnya gk kena rutenya ya naik pete-pete😁 tp syng skli skrng mmng budaya jalan kaki di makassar bukannya meningkat malah menghilang, trotoarpun tidak dipedulikan lg..

  13. Saya juga senang berjalan kaki. Jadi ingat, dulu di Makassar sering sekali saya jalan kaki. Kalau sudah macet karena ada sesuatu (demo atau apalah), saya selalu memutuskan untuk jalan kaki. Daripada harus nunggu lama di dalam pete-pete. Kalau mau kemana-mana dan jaraknya masih dekat, enaknya juga ya jalan kaki.

    Lucunya, saat berada di Mataram, jalan kaki itu jadi hal yang aneh. Saya pernah beberapa kali jalan kaki dari rumah ke Mataram Mall, atau dari rumah ke kampus, begitu pula sebaliknya. Eh pas berpapasan sama teman atau sama keluarga jauh, mereka malah kasihan sama saya yang jalan kaki. Dikiranya kenapa, gak ada uang buat bayar taksi atau apalah. Padahal kan sayanya jalan kaki karena memang pengen jalan kaki. Hahhaha

  14. saya selalu pengen jalan kaki kemana-mana ala-ala japanesee gitu kak, apalah daya kalau pas nyampe di deppen kompleks tukang bentor sudah manggil-manggil.. hahaha. batal deh X_X

  15. Senangnya menikmati waktu sendiri kak, paling suka ketika makan ditemani sebuah buku.. makassar selalu ngangenin memang tapi kadang ngeselin juga dimacetnya sekarang.. sekali2 pengen coba berjalan kaki juga ahh, tapi mungkin nanti jika bocah sudah sibuk dengan menggapai mimpinya sendiri…

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.