Browsed by
Category: Catatan Perjalanan

This place you return to is home.

This place you return to is home.

radioholicz-home

“Apakah kamu tidak merasa sepi di tempat yang begitu asing, dengan bahasa yang tidak kamu mengerti?”

Seseorang pernah bertanya seperti ini kepadaku.

Saya hanya bisa menjawab, mungkin itulah konsekuensi sebuah perjalanan. Ketika ruang-ruang kosong dalam kepalamu tidak lantas menjadi sesuatu yang berisikan kesepian. Saya menganggap tempat ini serupa rumah kesekian. Ada ikatan yang harus dijalankan, dituntaskan, sampai waktu dan perihal lain yang membuat kita berjalan ke arah yang lain.

Sesungguhnya (mungkin) esensi rumah dan pulang itu hanya ada di dalam kepala.

***

I’m not running from.
No, I think you got me all wrong.
I don’t regret this life I chose for me.

Be careful what you wish for,
‘Cause you just might get it all.

— Daughtry ~ Home

Skansen dan Valborg; dua identitas Swedia yang tidak bisa dilewatkan.

Skansen dan Valborg; dua identitas Swedia yang tidak bisa dilewatkan.

Memasuki musim semi, suasana dan mood penduduk Stockholm juga berubah. Dari gloomy  menjadi lebih bersahabat dan mudah tersenyum. Fashion statement di jalanan pun tidak lagi didominasi pakaian musim dingin yang identik dengan warna hitam. Langit biru, pohon-pohon yang mulai menghijau, bunga-bunga bermekaran, siapa yang bisa menolak mood riang ini?

radioholicz-skansen-valborg-1

Suhu diluar ruangan juga sudah lumayan hangat dan bersahabat. Kisaran 14 sampai 16 derajat itu sudah sangat hangat menurut ukuran Swedia. Walaupun saya sih tetap menganggap mereka denial, karena hanya memakai t-shirt dan selembar jaket, sementara saya masih menggunakan sweater. Setidaknya jaket musim dingin sudah resmi masuk lemari kembali.

Ada banyak perayaan yang bisa dinikmati selama musim semi dan musim panas berlangsung. Swedia senang sekali dengan perayaan, sebagai pembenaran untuk festival dan berkumpul di ruang-ruang publik. Salah satu yang tidak bisa dilewatkan adalah Valborg yang jatuh pada hari terakhir bulan April.

Read More Read More

Paris, tidak hanya tentang penanda kota. (2)

Paris, tidak hanya tentang penanda kota. (2)

Kasus Charlie Hebdo membuat masyarakat Paris menjadi sangat sensitif dengan isu agama. Saya harus berhati-hati untuk menanyakan arah. Setelah sempat nyasar beberapa kali dan mendapat bantuan dari orang lokal, akhirnya saya beruntung mengunjungi rumah Allah. Rasanya lega bisa menundukkan wajah dan menyeka lelah dengan air wudhu. Semoga setiap perjalanan selalu dimudahkan untuk keesokan harinya. Saya mempunyai satu cerita istimewa tentang mesjid ini, tapi biarlah disimpan untuk konsumsi pribadi. Tidaklah rugi untuk meluangkan waktu mencari lokasi mesjid karena arsitektur dan suasana damai yang menyertainya sangatlah meneduhkan.

Salah satu sudut mesjid :')
Salah satu sudut mesjid :’)

Berjalan di area selatan yang tidak terlalu hip membuat saya akhirnya merasakan bagaimana keseharian masyarakat Paris pada umumnya. Melihat cara mereka berpakaian, menikmati sore, atau mengikuti keseharian mereka menunggu metro.

Salah satu keuntungan untuk menjelajahi area selatan adalah kita bisa menemukan banyak makanan halal dan murah! Mau diapakan lagi kalau kebab menjadi pilihan utama. Sepertinya wilayah selatan identik dengan komunitas muslim atau warga Turki dan Maroko. Salah satu gedung yang patut dikunjungi adalah Arab Du Monde. Selain melihat perpustakaan yang berisikan sejarah Timur Tengah, kita bisa naik sampai lantai teratas untuk menikmati pemandangan kota Paris.

Read More Read More

Paris, tidak hanya tentang penanda kota.

Paris, tidak hanya tentang penanda kota.

Menjejakkan kaki di Paris diisi penuh dengan segudang rencana. Berbekal contekan catatan dari Time, Timeout dan Guardian, rasanya masih bingung dengan banyaknya tempat yang ingin didatangi hanya dalam 3 hari. Praktis saya membuat kategorisasi berdasarkan wilayah, serta prioritas tempat yang hendak dikunjungi. Syaratnya adalah ikon kota, gratis, dan mudah diakses.

Menara Eiffel
Menara Eiffel

Tidaklah terlalu mengejutkan ketika melihat Menara Eiffel atau Arc De Triomphe masuk dalam list utama. Bukankah ini yang menjadi bukti otentik bahwa saya (dan jutaan orang lainnya) pernah ke Paris? Rasanya masih seperti mimpi ketika saya tiba di hostel dan bisa melihat pucuk menara Eiffel dari kejauhan. Ikon yang dulunya hanya dilihat melalui kartu pos atau kotak kecil permainan monopoli kini berada di depan mata.

Sayangnya, saya hanyalah korban kesekian dari perasaan ingin eksis dan menunjukkan bahwa saya pernah ke Paris.
Dibalik semua penanda kota tersebut, saya melupakan satu hal yang paling mendasar.

Read More Read More